Kejadian pengepungan kantor Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memuncak ricuh pada hari Senin dini hari, 18 September 2017, menunjukkan bahwa ada beberapa pihak yang sengaja menikmati keresahan warga bangsa Indonesia. Kejadian ini tentu saja mengindikasikan satu kesimpulan penting bahwa kegenitan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia ternyata tidak memihak kepada siapapun. Kegenitan ini tidak hanya menimpa masyarakat yang sektarian tapi juga menimpa aktivis pergerakan yang berusaha menghadirkan wajah demokrasi substansial di Indonesia.
Kegenitan ini hadir pada dua aksioma yang sebenarnya saling bertentangan namun berkaitan, aksioma pertama adalah kegenitan sektarian karena menganggap pentingnya nonton bareng film Gerakan 30 September PKI. Aksioma kedua, kegenitan kawan-kawan LBH yang menjadikan isu korban tragedi 1965 sebagai counter terhadap aksioma yang pertama. Dua aksioma yang saya sebutkan bersifat agresif dan memicu konflik kebangsaan yang hingga hari ini tidak pernah ada habis-habisnya, apalagi setelah akses pengetahuan dan riset sejarah seperti tidak dibuka selebar-selebarnya, bahkan tidak menjadi concern keilmuan yang seksi untuk dibahas.
Keresahan Sektarian
Terbatasnya keinginan yang kuat akan pengetahuan terhadap literatur sejarah pada pengembangan intelektualitas sosial-politik menciptakan nalar sempit yang sektarian. Sejarah memang selalu milik kekuasaan. Adagium ini seharusnya menjadi kewaspadaan terhadap kekuasaan yang biasanya aktif merekeyasa sejarah. Dalam ranah kasus sejarah PKI, peristiwa gerakan revolusi tiga daerah yang paling membekas di benak masyarakat Indonesia hingga kini, cuman hanya sedikit yang mengetahui peristiwa tersebut.
Yang diketahui sebagian besar keresahan masyarakat Indonesia secara parsial dan tidak holistik adalah mengenai pembunuhan para Kyai di daerah Jawa Tengah. Keresahan ini seakan menghantui masa sekarang, bahkan menjadi stigmatisasi yang massif untuk membenci literatur-literatur sejarah bangsa yang berkaitan dengan peta gerakan sosial dalam sejarah meraih kemerdekaan Indonesia. Saya meyakini, keresahan ini terjadi tanpa membaca riset sejarah yang dilakukan oleh Anton Lucas mengenai Revolusi Tiga Daerah, Imam Soedjono mengenai penggulingan kekuasaan lokal dan revolusi Sosial, serta Takashi Shiraishi mengenai radikalisme rakyat di Jawa tahun 1912-1926. Dari sekian riset tersebut di atas, kita juga tidak bisa menafikan Laporan Akhir International People’s Tribunal (Pengadilan Rakyat Internasional) on Crimes Against Humanity in Indonesia 1965.
Keresahan sektarian ini dipersepsikan sebagai legitimasi penentangan terhadap PKI yang kemudian disangkut-pautkan dengan korban 1965. Padahal, dari beberapa riset yang telah dilakukan oleh John Rossa dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal, korban yang dibantai atas tuduhan keterkaitannya dengan PKI adalah legitimasi yang bahkan kadang tidak ada sangkut pautnya dengan kekejaman PKI di masa lalu, bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan pembantaian Kyai di masa lalu. Artikulasi pembunuhan Kyai dan pembunuhan para Jenderal, adalah artikulasi untuk menciptakan kembali keresahan baru untuk menghadirkan ilusi PKI di benak masyarakat Indonesia.
Kisah ini juga pernah disinggung oleh Soe Hok Gie yang menuliskan artikel “Di Sekitar Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali” dimana Soe Hok Gie mengutuk pembantaian di Pulau Bali dengan menggunakan nama samaran Dewa. Dalam tulisan tersebut, Gie menyatakan sama sekali tidak berkehendak untuk membela PKI. Tulisan tersebut hanya pendapat seorang humanis yang dimana menghargai peradilan hukum, keadilan dan kemanusiaan.
Keresahan ini pulalah yang melahirkan keinginan kuat untuk menyinggung kembali kekejaman PKI melalui penayangan ulang film “Pengkhianatan G 30 S/PKI”.
Keresahan aktivisme pergerakan demokratik
Keresahan dari aksioma kedua adalah keresahan para aktivis pergerakan yang ingin menjunjung tinggi demokrasi melalui keterbukaan riset sejarah. Sepertinya, keresahan sektarian yang ingin menghadirkan kembali film Gerakan 30 September menjadi penyebab utama sekaligus momentum para aktivis pergerakan untuk melakukan pelurusan sejarah korban tragedi pembunuhan massal tahun 1965.
Keresahan para aktivis pergerakan demokratik yang difasilitasi oleh LBH sebenarnya untuk mengakhiri stigmatisasi para korban pembunuhan massal tahun 1965. Keresahan ini juga terjadi karena ingin mengcounter stigmatisasi yang berlebihan terhadap PKI dan korban tragedi pembunuhan massal di tahun 1965.
Namun, tindakan aksi dari keresahan para aktivis pergerakan demokratik ini juga lagi-lagi merupakan keresahan yang terlalu “genit” karena tidak memperhatikan kondisi kesadaran intelektual masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih belum siap untuk menerima fakta sejarah dari riset-riset yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan tidak adanya riset bantahan secara ilmiah terhadap riset-riset yang pernah dilakukan oleh Anton Lucas, John Rossa, Imam Soedjono dan Takashi Shiraishi.
Apalagi riset Peringkat Negara-Negara Paling Banyak Membaca yang dirilis oleh John Miller dari Central Connecticut State University juga menunjukkan bahwa kesadaran literatur masyarakat Indonesia masih di bawah rata-rata, yaitu ditempatkan pada ranking 60 di antara 61 negara. Kebanyakan masyarakat masih mengedepankan emosi tanpa melakukan pendalaman dari bacaan pada perbandingan sebuah fakta sejarah.
Strategi Menjatuhkan Lawan Politik.
Pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan yang paling memungkinkan untuk dapat disalahkan dari dua pihak. Pihak masyarakat yang sektarian dan juga pihak aktivis pergerakan demokratik. Masyarakat yang sektarian akan menilai bahwa seakan-akan Jokowi adalah sosok yang akan melindungi PKI sedangkan pihak aktivis pergerakan demokratik akan menilai bahwa Jokowi menggunakan tangan negara untuk membubarkan kegiatan yang dilakukan oleh YLBHI terkait dengan pelurusan sejarah dan rekonsiliasi korban 1965.
Saya berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat dibaca terkait riak-riak kecil, seperti kejadian di YLBHI tanggal 18 Sepetember dini hari, riak kecil tersebut merupakan embrio untuk menjatuhkan citra Jokowi sekaligus memungkinkan untuk melakukan framing bahwa Jokowi adalah teman dan pelindung PKI.
Pertama, melakukan framing bahwa Jokowi adalah sosok pemimpin yang anti Islam, anti demokrasi dan pendukung PKI. Ketiganya secara sistmetis dilakukan. Jokowi dibenturkan dengan Ulama dan Umat Islam. Momentum pertama dilakukan di saat aksi bela Islam. Momentum kedua disaat Jokowi mengeluarkan Perppu Ormas. hanya satu orang menurutku yang mampu mengkritisi Jokowi secara elegan, Muhammad Al-Fayyadl tidak sama dengan pengkritik Jokowi yang mengedepankan copy-paste dan ujaran kebencian.
Kedua, masih soal perbenturan Jokowi dan umat Islam, Jokowi dicitrakan pula melakukan kriminalisasi terhadap ulama, anehnya perbenturan ini dapat dibantah setelah akomodasi politik Jokowi terhadap ulama NU dan kaum intelektual Muhammadiyah.
Ketiga, perintah beberapa jajaran petinggi TNI yang menginstruksikan tayangan G 30 S PKI merupakan jebakan identifikasi, sekaligus merupakan instrumentasi provokatif agar tokoh sejarawan, aktivis pergerakan demokratik menyikapi hal tersebut. Yang patut disayangkan, nalar intelektual kaum sejarawan dan keinginan terhadap keterbukaan sejarah harus dihantam dengan isu-isu tuduhan sektarian dengan menihilkan riset sejarah yang pernah dilakukan oleh John Roosa. Inilah perangkap sebenarnya. Perangkap sektarian. semua yang hobby membaca marxis, akan dituduh PKI, padahal pembaca marxis tidak terkait sama sekali dengan PKI.
Keempat, adanya indikasi beberapa orang yang ingin terus memperuncing keresahan ini. Keresahan ini diperuncing akibat ketidaksukaan beberapa pihak terhadap kepemimpinan Joko Widodo. Dalam hal ini, memang ada beberapa hal yang perlu dikritisi pada masa kepemimpinan sekarang, namun untuk menjatuhkan citra Joko Widodo dengan isu sektarian rasanya tidak tepat untuk dilakukan.
Hentikan Kegenitan ini
Dua aksioma kegenitan yang telah saya jelaskan di awal tulisan ini dan juga penjelasan saya soal framing terhadap pemerintahan yang sah saat ini merupakan peristiwa yang sengaja diperuncing agar terjadi keresahan baru. Keresahan baru ini akan menjadi hantu dan stigma horor terhadap sesama anak bangsa yang masih menyimpan dendam masa lalu. NU sudah melakukan rekonsiliasi ini melalui ‘buku putih’nya karena ingin menghapus dendam masa lalu, agar anak bangsa dapat saling bahu membahu memajukan bangsa Indonesia. Buya Syafi’ie Maarif juga menuliskan kedekatan dua anak bangsa (anak kandung petinggi PKI dan TNI) dalam PKI dan Kuburan Sejarah di masa sekarang, artinya kedekatan dua anak bangsa tersebut menunjukkan bahwa mereka telah mengubur sejarah dalam-dalam dan menatap masa depan untuk memajukan bangsa.
Kaum aktivis pergerakan tidak perlu lagi terjebak pada persoalan pelurusan sejarah yang membuat energi bangsa ini habis. Saya tidak mengatakan untuk didiamkan saja, namun cukup ini menjadi tragedi yang hanya tinggal kenangan masa lalu yang buruk. Ketika adanya stigmatisasi dan ada proses menghalangi keluarga korban 1965 untuk mengenyam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ini seharusnya menjadi concern selanjutnya untuk merawat sesama anak bangsa. cukup pembacaan sejarah 1965 menjadi bacaan internal tersendiri untuk membentuk kebijaksanaan langkah kepemimpinan kita yang tidak saling menyakiti semua orang.
Dalam hal kehidupan keagamaan, saya ingin mengatakan bahwa saatnya umat beragama saat ini menghentikan propaganda-propaganda sektarian dimana seakan umat beragama telah disakiti dan dimarginalkan. Umat beragama saat ini perlu menciptakan strategi dan taktik perjuangan seperti halnya resolusi jihad NU dalam rangka memperkuat posisi kebangsaan melalui karya peradaban yang berguna untuk kemaslahatan bersama.
Tidak hanya itu, umat beragama bersama warga negara lainnya perlu membuat platform dan grand-design di berbagai bidang, seperti ekonomi, lingkungan hidup, pesantren maritim, potensi petani santri, sosial emansipatorik hingga gepopolitik-ekonomi. Ini bisa dilakukan melalui standar kompetensi keaagamaan yang dapat mengukur dan terukur kualitasnya.
Terakhir, sebagai anak bangsa, saat ini izinkan saya mengutip seruan Tan Malaka di hadapan petinggi kongres Communist Comintern pada tahun 1926 di Rusia. Tan mengatakan, ”Jauh sebelum Karl Marx lahir, Muhammad telah menyerukan anti despotisme (penindasan), dan kemerdekaan. Inilah kenapa Islam mempunyai potensi yang berperan aktif terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia”.
Wallahu a’lam bimuraadihi, Wallahulmuwafiq billahi ilaa aqwami thariiq. Wassalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh.